Wisata ke Pura Mangkunegaran Sambil Menggali Filosofi Kebaikan di Baliknya - Solo
Siapa saja yang berkunjung ke Solo pasti akan tertarik mengunjungi Keraton Kasunanan Surakarta. Cobalah mampir ke Pura Mangkunegaran yang berada di tepian Sungai Pepe di jantung Kota Solo. Pura Mangkunegaran dibangun pada 1757, dua tahun setelah Perundingan Giyanti yang membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dilaksanakan.
Kerajaan Surakarta pun terpisah karena Pangeran Raden Mas Said terus memberontak terhadap VOC dan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar Mangkunegara I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe.
Berbeda dengan Keraton Surakarta yang didominasi warna biru langit, Pura Mangkunegaran diselimuti warna pari anom (padi muda). Itu menghadirkan nuansa khas dari keluarga kerajaan tersebut. Warna hijau padi muda itu memiliki nilai kesuburan.
Beragam nilai filosofi memang tersimpan di setiap ornamen bangunan pura, termasuk motif batik modang (api menyala) yang ada pada lambang pura dan memiliki arti semangat yang tidak pernah pudar. Tak ketinggalan, lambang surya sumirat (sinar matahari) yang menyimpan nilai kepemimpinan agar seorang pemimpin bisa menyinari dan mengayomi rakyat dan pantang membedakan golongan.
Baik keluarga kerajaan maupun warga harus menjalankan tridarma yang dicetuskan Sri Paduka Mangkunegara I. Pertama, rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki), kenalilah dirimu sendiri yakni introspeksi diri. Kedua, melu hanggondheli (berkewajiban ikut membela/mempertahankan, apa yang menjadi milik raja), anggaplah milikmu sendiri dan jagalah. Terakhir, mulat sarira hang rasa wani (berani berintrospeksi/mawas diri), peliharalah apa yang menjadi milik raja seperti menjaga apa yang menjadi milik dirimu.
Mangkunegara I pun mengajarkan filosofi yang mirip Bhineka Tunggal Ika saat ini. Yakni Mangkunegaran memiliki prajurit dari berbagai golongan dan selalu mengajarkan untuk menjadi satu saudara, serta bersatu melawan penjajahan Belanda.
Wilayah pura seluas 10 hektar dibagi menjadi beberapa bagian istana. Pamedan merupakan lapangan pelatihan prajurit pasukan Mangkunegaran. Di sebelah timur kawasan terdapat gedung kavaleri yang dibuat pada 1874, yang menjadi bekas pusat pasukan kuda.
Adapun di bagian dalam pura terdapat Pendopo Ageng. Pilar-pilar kukuh menyangga bangunan tersebut. Lantai marmer dan lampu-lampu gantung cantik buatan Belanda menghiasinya. Berikutnya, Dalem Ageng, bangunan utama lebih dalam setelah Pendopo Ageng. Di situ tersimpan beragam koleksi kerajaan, termasuk pusaka-pusaka sakti. Pendopo dan Dalem Ageng diapit dua bangunan lagi yang disebut Keputren (istana para permaisuri) dan Kesatrian (istana pangeran). Bangunan pun didominasi gaya khas Jawa dengan atap joglo.
Pura itu masih terus digunakan sebagai kediaman khusus Sri Paduka Mangkunegara IX beserta keluarganya. Mereka masih menggunakan keseluruhan kawasan untuk aktivitas sehari-hari. Namun, pengunjung umum hanya diperbolehkan memasuki wilayah Keputren, sedangkan sisi Kesatrian tertutup untuk umum.
Percampuran budaya, khususnya Eropa, memang terlihat dan dapat dirasakan dari beberapa ornamen yang menghiasi kawasan pura. Terdapat pula perpustakaan kerajaan, yakni Resto Pustoko, yang di dalamnya terdapat beragam naskah Jawa kuno, beberapa berbahasa Belanda dan Sansekerta, dan beberapa instrumen tembang Jawa.
Anda juga bisa melihat beberapa pohon langka yang tumbuh subur di pura. Salah satunya pohon Sempako Mulyo dengan bunganya yang unik, yakni jika dicium berbau buah pisang. Pohon tersebut memiliki nilai filosofi tersendiri. Sempoko Mulyo berarti hidup mulia dan tenteram.
Saat ini, Pura Mangkunegaran memiliki sekitar 250 abdi dalem yang beberapa diantaranya bertempat tinggal di kawasan (dalam) pura dan sebagian besar menyebar ke berbagai kawasan di Solo. Keberadaan Pura Mangkunegaran pun terus menarik perhatian para wisatawan. Rata-rata per bulan bisa menarik 1.000 - 2.000 wisatawan yang sebagian besar justru berasal dari Benua Biru.
Kerajaan Surakarta pun terpisah karena Pangeran Raden Mas Said terus memberontak terhadap VOC dan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar Mangkunegara I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe.
Berbeda dengan Keraton Surakarta yang didominasi warna biru langit, Pura Mangkunegaran diselimuti warna pari anom (padi muda). Itu menghadirkan nuansa khas dari keluarga kerajaan tersebut. Warna hijau padi muda itu memiliki nilai kesuburan.
Beragam nilai filosofi memang tersimpan di setiap ornamen bangunan pura, termasuk motif batik modang (api menyala) yang ada pada lambang pura dan memiliki arti semangat yang tidak pernah pudar. Tak ketinggalan, lambang surya sumirat (sinar matahari) yang menyimpan nilai kepemimpinan agar seorang pemimpin bisa menyinari dan mengayomi rakyat dan pantang membedakan golongan.
Baik keluarga kerajaan maupun warga harus menjalankan tridarma yang dicetuskan Sri Paduka Mangkunegara I. Pertama, rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki), kenalilah dirimu sendiri yakni introspeksi diri. Kedua, melu hanggondheli (berkewajiban ikut membela/mempertahankan, apa yang menjadi milik raja), anggaplah milikmu sendiri dan jagalah. Terakhir, mulat sarira hang rasa wani (berani berintrospeksi/mawas diri), peliharalah apa yang menjadi milik raja seperti menjaga apa yang menjadi milik dirimu.
Mangkunegara I pun mengajarkan filosofi yang mirip Bhineka Tunggal Ika saat ini. Yakni Mangkunegaran memiliki prajurit dari berbagai golongan dan selalu mengajarkan untuk menjadi satu saudara, serta bersatu melawan penjajahan Belanda.
Wilayah pura seluas 10 hektar dibagi menjadi beberapa bagian istana. Pamedan merupakan lapangan pelatihan prajurit pasukan Mangkunegaran. Di sebelah timur kawasan terdapat gedung kavaleri yang dibuat pada 1874, yang menjadi bekas pusat pasukan kuda.
Adapun di bagian dalam pura terdapat Pendopo Ageng. Pilar-pilar kukuh menyangga bangunan tersebut. Lantai marmer dan lampu-lampu gantung cantik buatan Belanda menghiasinya. Berikutnya, Dalem Ageng, bangunan utama lebih dalam setelah Pendopo Ageng. Di situ tersimpan beragam koleksi kerajaan, termasuk pusaka-pusaka sakti. Pendopo dan Dalem Ageng diapit dua bangunan lagi yang disebut Keputren (istana para permaisuri) dan Kesatrian (istana pangeran). Bangunan pun didominasi gaya khas Jawa dengan atap joglo.
Pura itu masih terus digunakan sebagai kediaman khusus Sri Paduka Mangkunegara IX beserta keluarganya. Mereka masih menggunakan keseluruhan kawasan untuk aktivitas sehari-hari. Namun, pengunjung umum hanya diperbolehkan memasuki wilayah Keputren, sedangkan sisi Kesatrian tertutup untuk umum.
Percampuran budaya, khususnya Eropa, memang terlihat dan dapat dirasakan dari beberapa ornamen yang menghiasi kawasan pura. Terdapat pula perpustakaan kerajaan, yakni Resto Pustoko, yang di dalamnya terdapat beragam naskah Jawa kuno, beberapa berbahasa Belanda dan Sansekerta, dan beberapa instrumen tembang Jawa.
Anda juga bisa melihat beberapa pohon langka yang tumbuh subur di pura. Salah satunya pohon Sempako Mulyo dengan bunganya yang unik, yakni jika dicium berbau buah pisang. Pohon tersebut memiliki nilai filosofi tersendiri. Sempoko Mulyo berarti hidup mulia dan tenteram.
Saat ini, Pura Mangkunegaran memiliki sekitar 250 abdi dalem yang beberapa diantaranya bertempat tinggal di kawasan (dalam) pura dan sebagian besar menyebar ke berbagai kawasan di Solo. Keberadaan Pura Mangkunegaran pun terus menarik perhatian para wisatawan. Rata-rata per bulan bisa menarik 1.000 - 2.000 wisatawan yang sebagian besar justru berasal dari Benua Biru.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment